ANALISIS
GAYA BELAJAR
SISWA YANG
MENYONTEK SAAT ULANGAN
Program Studi
S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Indonesia Kampus
Tasikmalaya
Abstrak
Penelitian ini
mendeskripsikan kesesuaian gaya belajar siswa dengan aktivitas mereka belajar
sehari-hari, dimana gaya belajarnya sendiri difokuskan antara tiga gaya belajar
Visual, Auditorial, atau Kinestetik. Gaya belajar yang cocok dan pas akan memudahkan
memahami dan menyerap pelajaran. Dan diketahui saat ulangan ada siswa menyontek
disebabkan oleh kesulitannya dalam mengerjakan soal ulangan. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa belum memahami dan menyerap pelajaran dengan baik. Maka
pada penelitian ini terfokus untuk menganalisis gaya belajar siswa yang teridentifikasi pernah
menyontek saat ulangan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kesesuaian
aktivitas belajar dengan kecenderungan gaya belajar siswa dalam menyerap
pelajaran guna memberikan solusi kepada siswa untuk belajar sesuai dengan
gayanya agar memudahkannya dalam menyerap pelajaran dan mendapatkan solusi
dalam upaya menghadapi keragaman gaya belajar siswa di kelas guna mengurangi
perilaku menyontek siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
Studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki
fenomena dalam konteks kehidupan nyata. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, angket, dan
wawancara untuk tiga indikator data yang dikumpulkan. Karena dalam studi kasus
hendaknya mendapatkan bukti dari dua atau lebih sumber, namun menyatu dengan
serangkaian fakta atau temuan yang sama, sehingga tidak terbatas pada sebuah
sumber bukti tunggal. Hasil penelitiannya adalah beberapa siswa masih belum
melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya, walaupun ada
yang sudah sesuai itupun belum optimal, ada beberapa karakteristik gaya
belajarnya yang tidak sesuai dengan aktivitas belajar yang dilakukannya. Maka
upaya yang harus dilakukan guru adalah menjadi guru yang kreatif dalam mengajar
dengan selalu memperhatikan karakteristik gaya belajar setiap siswa di kelas.
Sehingga hal yang dapat memudahkan guru dalam mengetahui karakteristik siswa
adalah melakukan tes gaya belajar siswa pada awal tahun ajaran agar dapat
mendorong siswa untuk lebih mudah memahami pelajaran dan memahami setiap
perilaku siswa yang muncul saat belajar di kelas.
Kata kunci: Studi Kasus, Menyontek, Gaya
Belajar.
Key words: Case study, cheating,
style of learning.
Pendidikan tidak bertujuan untuk menciptakan suatu yang otomatis yang dapat
digerakkan sesuai dengan yang memutarnya atau menyetelnya. Pendidikan diarahkan
kepada terbinanya manusia yang melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri, yang
dalam pengambilan keputusannya dapat mempertimbangkan dan melaksanakannya
sendiri.
Setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda dan hal itu pulalah
terlihat sebagai pelancar sekaligus penghambat proses penyerapan ilmu
yang diajarkan. Sehingga guru dituntut untuk mengajar sesuai dengan
karakteristik siswa yang dihadapinya, agar memudahkan siswa untuk menyerap
pelajaran yang disampaikan guru.
Bobbi DePorter (2010) mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah kunci untuk
mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi
antar pribadi. Ketika telah menyadari bagaimana diri pribadi dan orang lain
menyerap dan mengolah informasi, setiap orang dapat menjadikan belajar dan
berkomunikasi lebih mudah dengan gayanya sendiri.
Gaya belajar yang cocok dan pas tentu akan memudahkan memahami dan menyerap
pelajaran. Dan tentu ketika dihadapkan pada sebuah ulangan, mereka akan mudah
mengerjakan soal-soal tersebut dengan pemahaman yang telah diserapnya saat
belajar tanpa harus bertanya lagi pada temannya, meminta jawaban saat ulangan
atau menyontek sekalipun.
Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
kesesuaian kebiasaan belajar dengan kecenderungan gaya belajar siswa dalam
menyerap pelajaran. Juga mendapatkan solusi dalam upaya guru menghadapi gaya
belajar setiap siswa guna mengatasi perilaku menyontek saat ulangan.
Stephen Davis
(2009) mengatakan “Cheating can be defined as deceiving or depriving by
trickery, defrauding, misleading or fooling another.”
Kita membentuk perspektif tentang menyontek bukan hanya kecurangannya saja
tetapi juga belajarnya itu sendiri. Kita sering belajar lebih banyak dari
kesalahan kita daripada ketika semuanya berjalan dengan sempurna. Mereka yang
bertanggung jawab untuk belajar, termasuk masing-masing dari kita, mengetahui
banyak hambatan untuk belajar. Mengajar adalah tentang bagaimana menghapus
hambatan untuk belajar dan memperkuat keingintahuan mendasar tentang bagaimana
dunia bekerja. Kita sering tidak mengalami sukses karena berbagai cara
pembelajaran terjadi, ketidakrataan dalam kecepatan belajar, atau
kesalahpahaman tentang bagaimana belajar bisa terjadi. Siswa menyontek bukan
hanya hambatan untuk belajar, tentu saja, tapi cara-cara canggih dalam
menghadapi hal itu juga dapat menghambat belajar.
Belajar akan terasa nyaman dan menyenangkan jika kondisi-baik fisik,
psikis, maupun lingkungan juga mendukung. Hal ini berhubungan dengan gaya
belajar setiap orang. Setiap orang dengan gaya belajarnya masing-masing
memiliki kenyamanan situasi belajar yang berbeda-beda. Karena pada setiap gaya
belajar terdapat karakteristiknya tersendiri.
Kemampuan seseorang untuk memahami pelajaran berbeda-beda tingkatnya. Ada
yang cepat, sedang, dan lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus
menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang
sama. Cara tersebut dinamakan dengan gaya belajar. Setiap individu memiliki
gaya belajar yang berbeda-beda. Namun, hal yang penting untuk dimengerti bahwa
tidak ada gaya belajar yang paling baik atau paling buruk, masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan.
Hamzah Uno (2009) mengungkapkan bahwa apapun cara belajar yang dipilih,
perbedaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap
individu untuk bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya.
DePorter,
mendefinisikan gaya belajar sebagai bentuk kombinasi dari menyerap, mengatur,
dan mengolah informasi. Dalam prosesnya, murid, tidaklah selalu sama dalam gaya
belajarnya. Disini, gaya belajar dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu, Visual
(Visual Learners), Auditorial (Auditory Learners) dan Kinestetik (Kinesthetic
Learners).
1. Visual
Anak yang
memiliki gaya belajar ini mendapatkan informasi dengan cara memiliki kontak
mata dengan apa yang dipelajari. Maka ia akan sangat perlu untuk memperhatikan
pelajaran di kelas, atau membaca buku. Cara ini ternyata membuat guru merasa
senang karena melihat murid memperhatikan pelajarannya. Ia jadi mudah diatur
karena pas dengan kecenderungannya.
2. Auditorial
Tipe
pembelajar seperti ini tidak memerlukan kontak mata, tapi cukup mengoptimalkan pendengarannya.
Ia jadi terkesan tidak memperhatikan pembicaraan, walalupun sebenarnya ia
dengar. Anak seperti ini biasanya
belajar lewat suara keras, atau listening.
3. Kinestetik
Tipe
pembelajar seperti ini cenderung aktif. Ia harus bereksplorasi dan
mengoptimalkan fisiknya. Sehingga ia tidak betah jika disuruh duduk
berlama-lama di kelas atau hanya mendengarkan ceramah saja. Ia perlu menyentuh,
bergerak, dan melakukan atau praktek. Jika bicara biasanya ia agak perlahan dan
jika membaca, ia biasanya memakai jari sebagai petunjuk.
Karena
guru adalah manusia pembelajar, yang mempunyai keikhlasan dalam mengajar dan
belajar, dan senantiasa berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami
pelajaran. Maka setiap guru harus berupaya untuk mengajar dengan strategi
pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Sehingga siswa akan dengan
mudah menyerap pelajaran di kelas, memahami, dan mengingatnya dalam jangka
waktu yang lama. Oleh karena itu, jika mengajar yang kita pahami adalah sebagai
proses membantu siswa belajar, maka kita berusaha membantu mereka memahami
“Style of Learning”nya, dengan meningkatkan segi-segi yang kuat dan
memperbaiki sisi-sisi lemah daripadanya.
A.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang
menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus adalah sebuah metode
penelitian yang digunakan untuk menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan
nyata. Sebagaimana dijelaskan Yin (2008) bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri
empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana
batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana
multi sumber bukti dimanfaatkan. Lebih lanjut Arikunto mengemukakan bahwa
metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah
penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci, dan mendalam terhadap
suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau
subjek yang sempit.
Penelitian ini ditujukan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena
yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia.
Dalam studi kasus terdapat empat tipe
desain. Desain penelitian merupakan kaitan logis antara data empiris dengan
pertanyaan penelitian dan terutama konklusi-konklusinya. (Yin, 2003:27)
Sederhananya, desain penelitian adalah
rencana tindakan untuk berangkat dari “sini” menuju ke “sana”, dimana “disini”
bisa diartikan sebagai rangkaian pertanyaan awal yang harus dijawab, dan
“disana” merupakan serangkaian konklusi (jawaban) tentang pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Syaodih (2012) mengungkapkan penelitian
kualitatif menggunakan desain penelitian studi kasus dimana penelitian ini
difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara
mendalam.
Penelitian ini menggunakan desain tipe
2, yaitu desain kasus tunggal terjalin. Dimana perhatian diberikan kepada satu
atau beberapa sub unit analisis.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lembar observasi, angket, dan pedoman wawancara. Pada
awalnya dimana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen
adalah peneliti sendiri. Namun setelah masalah yang akan dipelajari jelas, maka
dapat dikembangkan suatu instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat
melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan.
Teknik pengumpulan datanya adalah dengan
observasi, angket, dan wawancara. Yin (2010) mengungkapkan terdapat beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data studi kasus, salah satu
diantaranya yaitu penggunaan berbagai sumber bukti. Bahwa dalam pengumpulan
data studi kasus hendaknya mendapatkan bukti dari dua atau lebih sumber, namun
menyatu dengan serangkaian fakta atau temuan yang sama, sehingga tidak terbatas
dan memang tidak harus terbatas pada sebuah sumber bukti tunggal.
B.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Jenis Perilaku Menyontek Siswa saat Ulangan
Ketika siswa
dihadapkan pada ulangan di satu hari, tidak terlihat ekspresi tegang di wajah
siswa. Begitupun ketika guru mulai meletakan soal ulangan di meja masing-masing
siswa. Keadaan kelas pun tenang, tidak ramai seperti ketika kegiatan
pembelajaran. Siswa mulai meraih kertas ulangan yang telah dibagikan guru
sesaat setelah instruksi “Silahkan mulai kerjakan ulangannya!” terucap
dari guru.
Dengan serius
siswa menjawab setiap soal yang diberikan. Mulai terlihat ada siswa yang
melirik kertas jawaban teman di sebelahnya pada menit ke 10. Bertambah ada
siswa yang bertanya dan mencari jawaban dari teman di belakangnya. Ada pula
siswa yang menutup rapat-rapat kertas jawabannya agar tidak terlihat oleh
temannya. Ada pula yang menyamakan jawabannya dengan jawaban milik temannya.
Dari hasil
observasi berdasarkan beberapa indikator didapatlah beberapa siswa yang
menyontek saat ulangan pada saat itu
2.
Kecenderungan
dan Kesesuaian Gaya Belajar Siswa yang Menyontek
Susilo (2009)
menyatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang cenderung dipilih seseorang
untuk menerima informasi dari lingkungan dan memproses informasi tersebut.
Siswa kelas IV
SDN ........................ telah diidentifikasi ke dalam 3 gaya belajar,
yakni Visual, Auditorial, dan Kinestetik. Dan setiap anak memiliki
karakteristik gaya belajarnya tersendiri, baik di sekolah maupun di rumah.
Dari 33 siswa, terdapat 22 siswa yang
dinyatakan menyontek saat ulangan berdasarkan observasi saat ulangan dan angket
yang diisi oleh setiap siswa, berikut hasil datanya.
Terdapat 21 dari
22 orang siswa yang memiliki gaya belajar visual, sedangkan satu orang lagi
memiliki gaya belajar kinestetik. Pada umumnya pembelajar visual lebih mudah
memahami pelajaran dari tulisan yang dibuatnya. Walaupun belum semua siswa ini
menyadari dengan sendirinya bahwa catatan yang dibuatnya dapat dijadikan
sebagai sumber belajar, mengulang kembali pelajaran di kelas, ataupun dalam
rangka mempersiapkan diri menghadapi ulangan. Siswa dapat diarahkan untuk
merapikan catatan yang dibuatnya, memberikan visualisasi dengan gambar atau
berupa tanda pada setiap kata atau kalimat yang penting dengan warna-warna yang
menarik, sehingga siswa lebih mudah menyerap materi pelajaran yang ditulis di
catatannya. Selain itu hendaknya diperhatikan pula karakteristik yang lainnya,
bahwa satu siswa yang memiliki gaya visual tidak sepenuhnya berkarakter visual
tetapi tetap saja ada karakteristik gaya yang lainnya juga dan hal ini bisa
disesuaikan dengan gaya visualnya.
Begitupun dengan
pembelajar kinestetik, siswa ini tidak bisa belajar dengan terus menerus duduk
diam di kursinya dengan memperhatikan guru menjelaskan di depan kelas, sesekali
harus diberi kesempatan untuk bergerak, mempraktekkan setiap penjelasan yang
disampaikan guru, sehingga siswa ini tidak cepat jenuh ketika pembelajaran
berlangsung.
Ketika kita
belum mengetahui gaya belajar yang pas untuk siswa, guru bisa menggunakan
metode gabungan antara visual, auditori, dan kinestetik. Misalnya dengan cara
siswa disuruh menghadap ke papan tulis sambil memegang spidol. Guru bisa
menuliskan huruf atau angak di punggung siswa, sambil mendeskripsikan dengan
ucapan. Kemudian siswa diminta mengikuti dengan menulis di papan tulis. Ini
gabungan antara siswa mersakan, mendengar, dan melakukan.
Best (2011)
mengungkapkan beberapa aktivitas pembelajaran yang cocok untuk setiap gaya
belajar, antara lain:
a.
Pembelajar
Auditorial
1)
Mendengarkan
presentasi atau penjelasan.
2)
Membaca
keras-keras untuk dirinya sendiri.
3)
Membuat
rekaman tentang poin-poin penting untuk didengarkan.
4)
Merangkum
secara lisan dalam bahsa mereka sendiri.
5)
Menjelaskan
subjek penalaran kepada siswa lainnya.
6)
Menggunakan
suara hati untuk menyuarakan apa yang sedang mereka pelajari.
7)
Mempraktikan
mengeja dengan mengucapkan sebuah kata dengan benar sebelum mencoba untuk
menuliskannya.
b.
Pembelajar
Kinestetis
1)
Meniru
sebuah peragaan.
2)
Membuat
model.
3)
Merekam
informasi yang mereka dengar, lebih bagusnya dengan cara pemetaan pikiran.
4)
Berjalan-jalan
saat membaca.
5)
Menggarisbawahi
/ memberi tanda pada informasi baru/poin-poin penting.
6)
Terlibat
secara fisik dan aktif dalam pembelajaran.
7)
Mempraktikan
mengeja dengan menulis di udara atau di atas meja dengan jari, bersamaan dengan
itu secara simultan mengucapkan ejaan tersebut keras-keras.
c.
Pembelajar
Visual
1)
Menuliskan
fakta-fakta kunci atau membuat pemetaan pikiran.
2)
Memvisualisasikan
apa yang telah mereka pelajari.
3)
Membuat
gambar/diagram dari apa yang telah mereka pelajari.
4)
Menggunakan
garis waktu untuk mengingat tanggal-tanggal.
5)
Menciptakan
sendiri tautan-tautan visual yang kuat.
6)
Menggunakan
gambar, diagram, tabel, film, video, atau grafis.
7)
Mempraktikan
mengeja dengan melihat katanya terlebih dahulu sebelum menuliskannya atau mengucapkannya.
Diharapkan siswa
bisa lebih mudah dalam menyerap pelajaran dengan cara belajar yang sesuai
dengan gaya belajarnya masing-masing, sehingga memudahkannya dalam mengerjakan
ulangan tanpa menyontek.
3.
Upaya
Guru Menghadapi Gaya Belajar Siswa
Di tengah siswa
yang terpaksa menyontek saat ulangan masih banyak siswa lain yang berusaha
menutup rapat kertas ulangannya sendiri agar tidak dilihat oleh temannya.
Siswa yang
terlihat lambat dalam belajar, siswa yang sering membuat masalah di kelas,
siswa yang tidak pernah memperhatikan guru ketika mengajar, adalah siswa yang
lebih sering terlihat menyontek.
Hal ini
berkaitan dengan bagaimana cara termudah bagi seseorang dalam menyerap sebuah
informasi. Bila tidak sesuai, maka tidak mudah bagi seseorang untuk menyerap
informasi dengan cepat.
Menurut Shaun
Kerry (2002) dalam Spreenger, bertahannya peristiwa ataupun informasi tertentu
dalam ingatan tergantung dari minat individu terhadap materi dan pengaruh
dramatis emosional, pendengaran, dan visualnya.
Langer (2008)
pun mengungkapkan ketika orang tidak senang melakukan sesuatu, maka penting
untuk kita mengetahui alasannya.
Maka dalam hal
ini guru pun memegang peranan yang sangat penting bagaimana agar semua siswa
bisa menyerap pelajaran dengan mudah sesuai gayanya sendiri, dan memberikan
perhatian lebih pada siswa dengan mencari tahu apabila terdeteksi ada permasalahan
pada diri siswa.
Mike Hughes
dalam Barwood (2011) mengungkapkan, semua pembelajaran tanpa mempelajari kembali
seperti halnya mencoba memenuhi bak kamar mandi yang sumbatnya terlepas. Hal
ini berarti setiap informasi yang masuk secara otomatis akan keluar lagi dengan
sendiri karena tak ada penyumbat lubang yang menahannya keluar lagi dengan
cepat. Penyumbat lubang itu diibaratkan sebagai memori.
Setiap hari guru
memberikan nasehatnya untuk selalu mengulang kembali pelajaran yang telah
dipelajari di kelas setiap harinya.
Narwanti (2011)
dalam bukunya Creative Learning memberikan gambaran mengenai ciri-ciri guru
kreatif yaitu,
a.
Fleksibel
b.
Optimis
c.
Respect
d.
Cekatan
e.
Humoris
f.
Inspiratif
g.
Lembut
h.
Disiplin
i.
Responsif
j.
Empatik
k.
Ngefriend
dengan siswa
Menjadi guru itu
bukanlah pekerjaan yang mudah, guru dituntut untuk kreatif dalam mengajar,
tidak mengajar dengan satu metode saja hingga siswa merasa bosan. Bahkan siswa
yang cara belajarnya sudah sesuai dengan gaya belajarnya pun akan merasa
frustasi di kelas karena cara mengajar guru yang tidak sesuai dengan dirinya.
Akibatnya siswa memutuskan tidak menyerap pelajaran di kelas. Di luar pun
ketika siswa belajar dengan caranya, akan tidak optimal bila di kelas dia tidak
mendapatkan apa-apa
C.
SIMPULAN
Siswa yang
menyontek memiliki gaya belajar yang hampir seragam, yaitu visual. Maka hal ini
lebih memudahkan guru untuk memberikan pendekatan dalam mengajar kepada
siswa-siswa ini. Membuat catatan yang menarik berisi gambar dan warna-warna
untuk setiap kalimat yang penting menjadi salah satu cara yang bisa diterapkan
kepada siswa ini, dengan memperhatikan pula karakteristik yang lainnya pada
setiap individu ini.
Setiap siswa
menginginkan untuk berprestasi dengan selalu mendapatkan nilai yang baik. Hal
ini terkadang menjadi tujuan utama seseorang dalam dunia pendidikan. Nilai
memang penting, terutama karena mendukung untuk mendapatkan pekerjaan kelas
misalnya serta meraih pendidikan lanjutan. Tetapi pendidikan lebih sekedar
mendapatkan nilai tinggi. Nilai akademik bukanlah satu-satunya hal yang bisa
mendatangkan keberhasilan pada siswa di masa depan. Itu sebabnya lakukanlah
cara terbaik dalam mengajar dan mengarahkan siswa untuk belajar sesuai dengan gayanya
masing-masing. Siswa yang rileks, bahagia dan menyenangkan saat bersekolah akan
membuat guru dan orang tua bangga, senang, dan tenang.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur
Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Barwood, T. (2011). Strategi Belajar.
Jakarta: Erlangga
Best, B. (2011). Strategi Percepatan
Belajar. Jakarta: Erlangga
DePorter, B. & Hernacki, M. (2010). Quantum
Learning. Bandung: Mizan Pustaka
Langer, E. J. (2008). Mindful
Learning: Membongkar 7 Mitos Pembelajaran yang Menyesatkan. Jakarta: Esensi
Erlangga Group
Narwanti, S. (2011). Creative
Learning: Kiat Menjadi Guru Kreatif Dan Favorit. Yogyakarta: Familia
Sprenger, M. (2011). Cara Mengajar
Agar Siswa Tetap Ingat. Jakarta: Erlangga
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Syaodih-Sukmadinata, N. (2012). Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Uno, H. B. (2006). Orientasi Baru
dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Yin, R. K. (2008). Studi Kasus Desain
dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Yunsirno. (2010). Keajaiban Belajar. Pontianak:
Pustaka Jenius