Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda kesehatan mental,
menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam,
yaitu: pertama,
kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam menjalankan
kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa Arab berasal dari kata sakana
yang berarti makan (tempat), maskin yang berarti manzil atau bayt (tempat
tinggal atau rumah), sukn yang
berarti ahl aw ‘iyal al-dar (penduduk desa atau negara).
Dari pengertian semantik ini, kata “sakinah” memiliki arti kemapanan
disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah yang menetap dan tidak
berpindah-pindah. Terminologi “sakinah”
juga memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan; (2) al-rahmah yang berarti kasih sayang.
Atau dalam bahasa Inggris berarti calmness
(ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan serenity (ketenteraman).
Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi
arti “sakinah” dengan ketetapan atau
ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala
kecemasan (al-qalaq/anxiety)
dan kesulitan atau kesempitan batin (al-Idtirar).
Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau
peperangan, rasa aman (al-aman),
hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia)
dan kesedihan dari jiwa. Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa
orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan
keyakinannya bertambah.
Pengertian
“ketenangan” di dalam istilah sakinah
tidak berarti statis atau tidak bergerak, sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang,
seperti orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila
istilah sakinah memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia
tidak akan berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman
Allah SWT:
’Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
Kata thuma’ninah hampir memiliki makna
yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa disertai
kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah sesuatu yang menenangkan di
dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu menenangkan, sedang
dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:
‘(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan
pendapat mengenai kedudukan sakinah
dan thuma’ninah. Pendapat pertama
dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan
akibat dari sakinah, bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan
bahwa sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan
ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa thuma’ninah
lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah
mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya
mencakup ketenangan dari rasa takut.
Sedangkan rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa
adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat.
Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia dilahirkan, yang
tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa, kotoran, dan penyakit.
Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan tertawa terbahak-bahak.
Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera melupakan dan kembali
timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa, seperti karena tidak
dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat tidur pulas, tanpa
menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan obat tidur. Bila ia ingin
hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan yang sarananya cukup
sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi rileks memiliki korelasi
yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih laksana cermin, maka
setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui dan mudah untuk
dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang dan
karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat.
Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka
elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang
gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang
dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.
Kondisi mental yang tenang dan
tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya kemampuan
individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan
dikembalikan kepada Allah (QS. Al-Baqarah:156); bersikap bersahaja dalam
menghadapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci terkadang memiliki nilai baik,
sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai buruk (QS. Al-Baqarah:216); (2)
kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup yang
berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan (QS. al-Baqarah:155); dan
(3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh
kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan (QS.
al-Insyirah:4-5).
Kedua, memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi,
keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik
pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya,
seseorang yang memaksa menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi
kemampuan yang memadai maka hal itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada
saatnya mendatangkan penyakit mental. Firman Allah
SWT : “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan
oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS. Yasin:35).
Sabda Nabi SAW: “makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang adalah makanan
yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab Nabi Dawud makan dari hasil
kerjanya sendiri.” (HR. al-Bukhari)
Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan
dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuanya, karena keadaan
itu merupakan anugerah (fadhl) dari
Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia terdapat dua
jenis, yaitu: (1) bersifat alami (fitri),
seperti keadaan postur tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia dilahirkan
dari keluarga tertentu, dan sebagainya. Manusia yang sehat akan mensyukuri
anugerah itu tanpa mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan seperti itu, sebab
di balik penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah yang tersembunyi; (2) dapat
diusahakan (kasbi), seperti bagaimana
mendayagunakan postur tubuh yang gemuk dalam bekerja atau berkarier, bagaimana
memfungsikan karakter agresif, dan sebagainya. Manusia yang sehat tentunya akan
mengerahkan segala daya upayanya secara optimal agar dapat mencapai tujuan yang
diinginkan.
Tanda
kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala
kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan
diri dengan orang lain. Sikap yang dikembangkan seperti cinta kepada sesama
saudaranya seperti ia menyintai dirinya sendiri (HR. al-Bukhari dan Muslim),
sikap saling membantu,asah, asih, dan asuh. Firman Allah SWT:
’Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.’ (QS. An-Nisa’: 32)
Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri.
artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk
memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Jika
perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa harus dapat menahan
diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa kepada Allah SWT maka
harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan
kesehatan mental.
Kelima, kemampuan untuk memikul tanggunga jawab, baik tanggung jawab
keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan diri
seseorang, sekaligus sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.
Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban
dan menebus kesalahan yang diperbuat. Berkorban berarti kepedulian diri
seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kekayaan
dan/ atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya kesadaran diri akan
kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala risiko akibat
kesalahannya, kemudian ia senantiasa berusaha memperbaikinya agar tidak
melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kedua persoalan ini dianggap
sebagai tanda kesehatan mental, sebab apa yang dimiliki menusia, baik berupa
jiwa-raga atau kekayaan, hanyalah amanah Allah SWT semata. Sebagai amanah,
apabila seseorang menerimanya dalam kondisi baik, maka tidak boleh disia-siakan
atau mensikapi dengan sikap yang meledak-ledak sehingga mengganggu stabilitas
emosi, melainkan digunakan untuk kemashalatan di jalan Allah. Namun apabila
diterima dalam kondisi kurang baik, maka tidak boleh mengumpat-ngumpat, menyikapi
secara apatis dan pesimis, apalagi mengkufurinya. Sikap yang seharusnya
dilakukan adalah menerima dengan baik dan berusaha seoptimal mungkin.
Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang
baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal
itu dianggap sebagai tanda kesehatan mental, sebab masing-masing pihak merasa
hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah maka yang
lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan rizki maka yang lain
ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling curiga, buruk
sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Dengan melakukan yang demikian itu
maka hidupnya tidak menjadi salah tingkah, tidak asing di lingkungannya
sendiri, dan hidupnya mendapatkan simpati dari lingkungan sosialnya.
Kedelapan, memiliki
keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Keinginan yang
tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan, lamunan,
kegilaan, dan kegagalan. Keingina yang terealisir dapat memperkuat kesehatan
mental, sebaliknya, keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin
dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai
keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan hadits
Nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan
engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau
nati esok hari.”
Kesembilan, adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.
Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab
individu merasa sukses, telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi
kebutuhan hidupnya. Dikap penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau
kebahagiaan tidak selalu dipandang dari sisi kuantitatif, melainkan dari
kualitas dan berkahnya.
Kepuasan (satisfaction) merupakan salah satu suasana batin seseorang yang
secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor dalam memasuki semua aspek
kehidupan. Kepuasan adalah suatu kondisi
kesenangan dan kesejahteraan seseorang karena telah mencapai satu tujuan atau
sasaran. Atau, satu perasaan yang menyertai seseorang setelah ia memuaskan satu
motif. Unsur utama dalam kepuasan adalah adanya perasaan senang
dan sejahtera dan perasaaan itu timbul setelah suatu tujuan motif dicapai.
Davis bersama Newstrom mendefinisikan kepuasan sebagai “perasaan dan sikap
individu tentang menyenangkan atau tidaknya suatu aktivitas yang bersumber dari
seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang
membentuk harapan.”
Kriteria
kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan
terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki,
yaitu kebutuhan meta-material, seperti kebutuhan spiritual. Menurut teori
Abraham Maslow, hirarki kebutuhan tersebut digolongkan atas dua taraf, yaitu:
(1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic
needs), yang meliputi kebutuhan
fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga
diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta
needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti
keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.
Tanpa
menafikan teori Maslow, kepuasan yang esensial, terutama yang dikembangkan
dalam psiko-sufistik adalah kepuasan disebabkan adanya keridhaan dari Allah
SWT. Ridha Allah menjadi sumber kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan
diperoleh seseorang kecuali ia beraktivitas secara baik, benar, jujur, dan
mentaati segala aturan. Dengan ridha Allah pula ia mendapatkan kepuasan dari
aktivitasnya tanpa mengganggu hak-hak orang lain.
Tanda-tanda
kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta (al-mahabbah). Cinta dianggap sebagai
tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan citra diri positif. Cinta
mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-mengasihi, dan
menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian.