Setelah membahas doa sebelum dan sesudah Wudhu, sekarang Info Garut akan membahas lagi penyebab batalnya wudhu. silahkan disimak.
 
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat 
seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa 
membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali  
Nawaqidhul
 wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil 
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka
 tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh 
mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini 
disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah 
serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada 
ijtihad masing-masing ahlul ilmi.  
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135) 
Hadits
 ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal 
wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil. 
2.Buang Air Besar
Allah
 Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan 
perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan 
shalat): 
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya. 
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin
 yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila 
seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan 
berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal. 
Abdullah
 bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan 
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang 
menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135) 
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah
 seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu 
Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut)
 yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara
 perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar 
Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan 
tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari 
dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang 
paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan
 juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang 
melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296) 
Hadits
 ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya 
hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. 
(Fathul Bari, 1/269)
Aisyah
 radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia 
mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau 
dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, 
wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau 
menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak 
menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan 
ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum 
muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ 
Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, 
sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi 
Keluarnya
 madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali 
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak 
mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada 
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya 
(Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta 
Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam pun menjawab: 
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah
 haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah 
hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. 
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu 
karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini 
diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan 
suaminya sampai ia suci. 
Dikecualikan
 bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu 
kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang
 menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama 
dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun 
darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila
 si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat 
hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan 
menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang
 yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, 
karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/
 janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, 
BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil 
sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: 
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila
 seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia 
bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah 
wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan: 
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari
 hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai
 keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara 
yang membatalkan wudhu.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam
 masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering 
sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan
 tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari 
Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana 
masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, 
sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan 
permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka 
berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman 
setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka 
berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu 
dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah 
perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau 
meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati 
mereka bersepakat di atasnya.  
Demikianlah
 yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang 
diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan 
dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila 
didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya 
dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di 
kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh 
waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang
 di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu 
shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada 
waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud 
karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan 
pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras
 melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz 
(ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan 
pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa 
dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau 
berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut 
tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus 
berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan. 
1. Menyentuh wanita 
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: 
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43) 
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama),
 seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, 
Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan 
Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227) 
Kedua:
 ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum 
daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, 
mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat 
seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. 
Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir 
Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. 
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun
 pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau
 dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. 
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu. 
Dari
 dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa 
yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ 
sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri1 dan juga dalam 
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan 
bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah 
membatalkan wudhu. 
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang
 dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini) adalah 
jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan 
selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali 
radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat 
ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada 
dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu 
membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan 
istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan 
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan 
kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” 
Beliau
 juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa 
menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok 
salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah
 wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut 
baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana
 disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh 
wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya 
pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa,
 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat
 yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara 
mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali 
bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani 
maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib 
baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202) 
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ
 أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ 
رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku
 pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam 
keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang 
shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung 
jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku 
kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan: 
فَقَدْتُ
 رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ
 فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي 
الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي 
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، 
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا 
أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Suatu
 malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga 
kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang 
sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan 
sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu 
dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung
 kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau 
sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di
 antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang 
untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu 
Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, 
lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan 
Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban 
pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu 
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi
 mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. 
Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang 
sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini 
mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” 
(Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam 
ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2 
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini: 
-
 Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu 
seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat 
muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar 
sekaligus. (Nailul Authar, 1/268) 
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian
 ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
 selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu 
disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, 
Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang 
lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan 
mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59) 
-
 Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, 
Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu
 riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh 
selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun 
banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. 
(Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang 
rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut: 
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i,
 maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya 
(menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4.
 Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il 
(perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu 
yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah
 batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan 
dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan
 mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian 
pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, 
‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin 
Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. 
Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan 
tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63) 
Adapun
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail 
Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana 
dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau 
menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111,
 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
“Siapa
 yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di 
dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221) 
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits
 ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap 
periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai 
lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij 
yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari
 Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– 
meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang 
meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal 
ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat 
yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam 
kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah 
terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits 
ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269) 
Al-Hafidz
 Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain 
beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah
 yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah 
membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. 
Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin 
Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan 
Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih 
menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 
Dari
 kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan 
yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila 
keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu 
Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269) 
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits
 tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat 
walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah 
pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul 
oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh 
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya
 darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan 
akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas 
shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau 
siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada 
saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para 
shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran 
hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan
 dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari 
mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, 
Tamamul Minnah, hal. 51-52) 
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah. 
1 Seperti dalam ayat: “Wahai
 orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita 
mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh 
mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’. 
2
 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti
 Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau 
mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3
 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang
 diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam 
An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63). 
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)