Seorang Muslim hendaklah memiliki jiwa pemaaf sebagai tanda orang mulia
dan penyayang. Sifat pemaaf ini termasuk salah satu sifat orang mukmin Allah
berfirman: ‘Tetapi ingatloh, siapa yang memaafkan dan mendamaikan maka
ganjarannya adalah (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang Zhalim
Mungkinkah seorang Muslim menjadi mulia apabila ia tidak memaafkan
saudaranya? Mungkinkah seorang Muslim menjadi seorang penyayang, jika tidak
menutupi aib saudaranya? Mungkinkah seorang Muslim menjadi hina karena ia
bersabar menasihati saudaranya yang salah dan memaafkannya bila melakukan
kesalahan dan kekeliruan? Bahkan seseorang akan mulia kalau ia mampu menyadari
‘aibnya sendiri.
Cara menutupi ‘aib dan memaafkan kesalahan saudara Muslim ini bukan
berarti meninggalkan nasihat langsung kepada yang bersangkutan dengan cara diam
diam dan tidak berarti menggugurkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar jika salah
seorang saudaranya terjerumus kedalam dosa. Sebab jika nasihat-menasihati
karena Allah tidak jalan, maka kebaikan Ukhuwah Islamiyah tidak akan terwujud.
Begitu juga tidak dilakukan saling tegur dan amar ma’ruf nahi mungkar sesama
saudara, ukhuwah tidak bemilai disisi Allah dan Syari’at-Nya.
Sehubungan dengan QS 3:134 ini Buya Hamka Alm. dalam Tafsir Al-Azharnya
menulis
“Di ayat ini diberikan tuntunan terperinci dan lebih jelas yang diperlombakan
itu ialah kesukaan memberi, kesukaan menderma untuk mengejar syurga yang seluas
langit dan bumi, sehingga semua bisa masuk dan tidak akan ada perebutan tempat.
Disebut dengan terang, yaitu dalam waktu senang dan dalam waktu susah orang
senang berderma dan orang susahpun berderma. Orang kaya berderma, orang miskin
berderma. Tidak ada yang bersemangat meminta, tetapi semua bersemangat memberi.
Sehingga si miskinpun tidaklah berjiwa kecil, yang hanya mengharap-harap
belas-kasihan orang. Meskipun dia tidak mempunyai uang, namun dia ada mempunyai
ilmu untuk diajarkan. Atau tenaga untuk diberikan. Semuanya berlomba-lomba
mengejar syurga yang luas-lapang dan selapang langit dan bumi, tidak
bersempit-sempit. Maka kalau ada yang mengecewakan atau membuat yang patut
menimbulkan marah karena ada yang calih, seumpama-pepatah: Ketika menggarap
tanah, cangkul banyak berlebih, tetapi ketika membagi makanan, piring sangat
berkürang.”
Hal ini bisa menimbulkan marah, karena ada yang Thufaily; yaitu orang
yang bekerja malas, tetapi makan mau. Maka Mu’min yang berjiwa besar tidak mengambil
pusing hal yang demikian. Dia asyik bekerja, mana dia perduli kalau ada yang
malas? Bukan saja menahan marah, bahkan juga memberi maaf.
Di sini kita lihat tingkat-tingkat kenaikan takwa seorang mu’min Pertama mereka
pemurah; baik dalam waktu senang atau dalam waktu susah. Artinya kaya ataupun
miskin berjiwa dermawan. Naik setingkat lagi; yaitu pandai menahan marah.
Tetapi bukan tidak ada marah. Karena orang yang tidak ada rasa marahnya melihat
yang salah; adalah orang yang tidak berperasaan. Yang dikehendaki di sini,
ialah kesanggupan mengendalikan diri ketika marah. Ini adalah tingkat dasar.
Kemudian naik setingkat lagi, yaitu memberi maaf.
Kemudian naik ke tingkat yang di atas sekali; menahan marah, memberi maaf
yang diiringi dengan berbuat baik; khususnya kepada orang yang nyaris dimarahi
dan dimaafkan itu. Ini behar-benar menunjukkan jiwa yang terlatih dengan takwa.