National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) yang merupakan
sebuah organisasi professional Internasional yang bertujuan untuk memberikan
peningkatan mutu dalam mengajar dan belajar matematika menyebutkan bahwa
terdapat 5 kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang dalam belajar
matematika yakni problem solving skill
(kemampuan pemecahan masalah), reasoning
and proof skill (kemampuan penalaran dan bukti), communication skill (kemampuan komunikasi), connections skill (kemampuan
koneksi atau mengkaitkan sesuatu), dan yang terakhir adalah representations skill (kemampuan
representasi). Berdasar pada 5 kemampuan yang diungkapakan oleh NCTM di Amerika
tersebut, maka Depdiknas merumuskan tujuan pembelajaran matematika dalam
kurikulum 2006 setidaknya meliputi (1) koneksi antar konsep dalam matematika
dan penggunaannya dalam memecahkan masalah, (2) kemampuan penalaran, (3) kemampuan
pemecahan masalah, (4) kemampuan komunikasi dan representasi, dan (5) faktor
afektif. Dari kedua pernyataan yang diungkapkan oleh NCTM dan Depdiknas dalam
Kurikulum 2006 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Kemampuan koneksi
matematika merupakan salah satu dari lima kemampuan standar yang harus dimiliki
seseorang yang layak dan strategis untuk dikembangkan dalam tujuan pembelajaran
Matematika.
Dalam
kurikulum pendidikan matematika yang menjadi salah satu tujuannya adalah agar
siswa mampu memahami konsep matematika, mampu memberikan penjelasan tentang
keterkaitan antar konsep dalam matematika dan siswa mampu mengaplikasikan
konsep matematika secara tepat dan benar dalam pemecahan masalah. Dari hal
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematika dipandang
layak dan perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar.
Gagasan koneksi matematika bukan merupakan hal baru
dalam pendidikan matematika, karena Gagasan koneksi matematik telah diteliti sejak lama oleh W.A. Brownell tahun
1930-an. Namun pada saat itu ide koneksi
matematik hanya terbatas pada koneksi pada aritmetik (Bergeson, 2000:37 dalam
Sugiman). Koneksi matematik disebabkan karena adanya pemikiran bahwa ilmu matematika merupakan ilmu yang saling
menyatu satu sama lainnya, artinya satu
konsep matematika dengan konsep lain adalah saling terkait dan saling
berhubungan. Selain itu, matematika juga tidak hanya terkait dengan konsep
dalam matematika itu sendiri, tetapi juga terkait dengan konsep lain dalam ilmu
selain matematika dan juga memiliki keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Tanpa koneksi matematika maka siswa harus belajar dan mengingat terlalu banyak
konsep dan prosedur matematika yang saling terpisah (NCTM, 2000:275).
Meskipun kemampuan koneksi matematika
merupakan kemampuan yang strategis untuk dikembangkan dan harus dimiliki oleh
seseorang, namun pada kenyataanya selama ini hasil belajar matematika siswa
masih belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Khususnya dalam aspek koneksi
matematis (Ruspiani, 2000 dalam Yanto Permana dan uteri sumarmo, 2007). Hasil belajar yang belum menggembirakan tersebut
antara lain karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor internal dari
siswa itu sendiri maupun faktor lain seperti pengajar, sarana prasarana dan
proses belajar mengajar yang dilaksanakan.
Kemampuan koneksi matematika penting, namun siswa
tidak mampu secara mandiri untuk mengkoneksikan materi atau konsep matematika
itu secara langsung. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa siswa sering mampu
mendaftar konsep-konsep matematika yang terkait dengan masalah riil, tetapi
hanya sedikit siswa yang mampu menjelaskan mengapa konsep tersebut digunakan
dalam aplikasi itu (Lembke dan Reys, 1994 dikutip Bergeson, 2000: 38 dalam
sugiman). Dengan demikian diperlukan latihan untuk mengasah kemampuan koneksi
matematika di Sekolah Dasar. Namun pada
kenyataannya di lapangan, justru latihan untuk mengkoneksikan materi matematika
ini sangatlah kurang. Apabila siswa mampu mengkaitkan ide-ide matematika maka
pemahaman matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena mereka
mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan konteks selain
matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari (NCTM, 2000). Bahkan
koneksi matematika sekarang dengan matematika jaman dahulu, misalkan dengan
matematika zaman Yunani, dapat meningkatkan pembelajaran matematika dan
menambah motivasi siswa (Banihashemi, 2003 dalam Sugiman).
(Bruner dan Kenney dalam Bell dalam Sugiman) mengemukakan teorema dalam
proses belajar matematika (Theorems on Learning Mathematics). Kedua ahli
tersebut mencetuskan teorema dalam pembelajaran matematika. Yaitu (1) teorema
pengkonstruksian (construction theorem) dimana teori pengkonstruksian
ini memandang perlu adanya peran representasi terkait dengan konsep matematika,
prinsip, dan aturan matematika (2) teorema penotasian (notation theorem)
dimana dalam teorema penotasian ini memandang representasi atau pemodelan akan lebih mudah ketika menggunakan simbol,
(3) teorema pengontrasan dan keragaman (theorem of contrast and variation)
dimana teorema ini memandang perlu adanya situasi yang kontras dan juga beragam
dalam pembelajaran matematika, dan (4) teorema koneksi (theorem of
connectivity) dimana teorema ini memandang perlu adanya keterkaitan antar
konsep dalam matematika, konsep matematika dengan ilmu lain dan konsep
matematika dengan. Kelima teorema tersebut
bekerja secara simultan dalam setiap proses pembelajaran matematika. Teorema
koneksi sangat penting untuk melihat bahwa matematika adalah ilmu yang koheren
dan tidak terpartisi atas berbagai cabangnya. Cabang-cabang dalam matematika,
seperti aljabar, geometri, trigonometri, statistika, satu sama lain saling kait
mengkait.
NCTM (2000: 64) menyatakan matematika bukan merupakan kumpulan dari topik
dan kemampuan yang terpisah, meskipun memang pada kenyataannya pelajaran
matematika sering diajarkan dalam beberapa cabang . Matematika adalah ilmu yang tidak terpisah-pisah dan merupaakn
satu kesatuan. Untuk bisa berpikir dan belajar tentang koneksi topic-topik
matematika diperlukan cara pandang yang menyeluruh. Bruner dan Kenney
menyebutkan bahwa setiap konsep, prinsip, dan keterampilan dalam matematika
dikoneksikan dengan konsep, prinsip, dan keterampilan lainnya. Struktur koneksi
yang terdapat di antara cabang-cabang matematika memungkinkan siswa melakukan
penalaran matematik secara analitik dan sintesik. Dengan kegiatan
mengkoneksikan konsep ini, kemampuan matematik siswa akan lebih berkembang. Bentuk
koneksi yang utama yaitu mencari keterkaitan/ koneksi juga hubungan diantara
berbagai macam struktur dalam matematika. Dalam pembelajaran matematika, siswa
perlu menyadari secara pribadi adanya koneksi dari materi matematika yang
mereka pelajari, tanpa perlu dikontrol secara penuh oleh guru. Struktur ilmu
matematika sangat jelas dan ringkas. Sehingga dengan cara mengkonkesikan antar
materi dalam matematika, materi matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa.
Geometri merupakan salah
satu di antara banyak cabang matematika
yang juga diajarkan di Sekolah Dasar. Dengan mempelajari geometri dapat
menumbuhkan kemampuan memecahkan masalah dan pemberian lasan serta dapat
mendukung banyak topic lain dalam matematika (Kennedy, 1994: 385 dalam Nuraeni).
Tiga alasan mengapa geometri
perlu diajarkan , menurut Usiskin (Kahfi
, 1998 : 8 dalam Nuraeni). Pertama, geometri merupakan satu-satunya ilmu yang
dapat mengkaitkan matematika dengan bentuk fisik dunia nyata. Kedua , Geometri
satu-satunya yang memungkinkan ide-ide dari bidang matematika yang lain untuk
digambar. Ketiga, Geometri dapat memberikan contoh yang tidak tunggal tentang
system matematika. Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peranan
geometri dalam mata pelajaran matematika memang sangat kuat. Jadi sudah menjadi suatu
keharusan bagi siswa sekolah dasar untuk mampu memahami geometri dengan benar.
Namun pada kenyataanya,
siswa di Sekolah dasar masih belum memahami secara penuh materi geometri yang
diajarkan. Khususnya dalam hal mengkoneksikan bangun datar layang-layang dengan
bangun datar lain.
Permasalahan kesulitan siswa
dalam hal mengkoneksikan materi layang-layang dengan materi lain dimungkinkan
karena faktor lain yang mempengaruhi proses belajar mengajar matematika,
seperti peserta didik yang kurang focus dalam mengikuti pembelajaran, pengajar
yang kurang mampu memberikan pengarahan dan tuntunan untuk siswa mengkoneksikan
materi dalam matematika, pra sarana,
sarana dan penilaian juga teori belajar yang digunakan. (Hudoyo, 1988: 6 dalam
Nuraeni).
Untuk bisa menguasai materi
geometri, kita bisa menerapakan pembelajaran geometri berbasis teori van hiele.
Dimana Vanhiele menyatakan bahwa ada beberapa urutan dalam belajar Geometri,
dimana ia menyebut tahapan tersebut adalah tahap 0 – 4. Tahapan tersebut yaitu: Level 0 (visualization), level 1 (analysis), Level 2 (Abstraction), Level 3 (deduction),
Level 4 (Rigor).
Dengan penerapan tahap
berpikir Vanhiele diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami geometri
khususnya dalam hal mengkoneksikan materi layang-layang dengan bangun datar
lain.